Piala Presiden Makin Elit, Sudah Saatnya Diganti Jadi Piala Super Indonesia

Dari Turnamen Bergengsi Jadi Eksklusif Elitis, Piala Presiden Kehilangan Esensinya

Skorakhir – Piala Presiden dulunya dikenal sebagai ajang pramusim paling bergengsi di sepak bola Indonesia. Namun edisi 2025 justru menghadirkan tanda tanya besar. Jumlah peserta terus menyusut, dan kini hanya melibatkan enam klub saja. Sebuah penurunan drastis jika dibandingkan dengan masa-masa awal turnamen ini.

Sebagai gambaran, Piala Presiden 2019 diikuti oleh 20 tim, termasuk 16 kontestan Liga 1 dan empat tim dari Liga 2. Format ini tidak hanya memberi ruang kompetisi yang sehat, tetapi juga mengangkat marwah sepak bola nasional lewat keterlibatan seluruh elemen klub profesional.

Namun kini, semuanya berubah. PSSI menerapkan kriteria partisipasi yang makin ketat dan cenderung inkonsisten dari tahun ke tahun.

Kriteria Makin Berat, Format Makin Elit

Pada edisi 2024, kriteria partisipan mencakup juara bertahan serta empat klub yang mewakili Indonesia di level internasional (AFC atau AFF). Tiga slot sisanya diisi oleh klub pilihan yang kriterianya tidak pernah dijelaskan secara terbuka, seperti Persis Solo, Bali United, dan Persija Jakarta.

Kini di edisi 2025, jumlah tim justru dipangkas menjadi enam. PSSI memilih juara bertahan Arema FC, juara dan runner-up Liga 1 musim lalu yakni Persib Bandung dan Dewa United, serta tiga undangan yang lagi-lagi tidak jelas mekanismenya.

Jika tren ini terus berlangsung, Piala Presiden bisa berubah dari ajang inklusif nasional menjadi semacam “mini elit invitational” yang sulit disebut representatif.

Lebih Baik Diganti Saja Jadi Piala Super Indonesia?

Melihat penurunan jumlah peserta dan kriteria yang makin eksklusif, sudah saatnya PSSI mempertimbangkan perubahan format secara total. Salah satu opsi masuk akal adalah menghadirkan Piala Super Indonesia.

Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru. Eks pelatih Borneo FC, Pieter Huistra, pernah mengusulkan ide tersebut saat timnya melawan Persib di Piala Presiden 2024.

“Ini seperti Piala Super—kami dua tim terbaik musim lalu,” ucap Huistra, kala itu.

Piala Super adalah konsep umum di berbagai liga top dunia. Di Inggris misalnya, Community Shield mempertemukan juara Premier League dan juara FA Cup. Di Spanyol ada Supercopa, dan di Italia pun begitu.

Namun agar format Piala Super Indonesia bisa berjalan, syarat utamanya adalah menghidupkan kembali Piala Indonesia (Piala FA)—turnamen yang terakhir digelar pada musim 2018/2019 dan mati suri hingga kini.

Momentum Erick Thohir dan PSSI Membenahi Struktur Kompetisi

Piala Indonesia seharusnya bisa menjadi ruang kompetitif bagi klub-klub Liga 2 bahkan Liga 3, sekaligus menjadi jalur formal menuju Piala Super. Jika Erick Thohir dan PSSI serius membenahi ekosistem sepak bola nasional, maka mengaktifkan kembali Piala Indonesia adalah sebuah keharusan.

Dengan itu, kita bisa punya Piala Super Indonesia versi lokal, yang mempertemukan juara Liga 1 dan juara Piala Indonesia di awal musim. Selain membuka kompetisi dengan cara elegan, ini juga memberi gengsi tersendiri bagi juara domestik.

Jangan Hanya Elitis, Bangun Sepak Bola yang Inklusif

Sepak bola bukan hanya soal elit. Ia adalah olahraga rakyat. Jika Piala Presiden terus dijalankan dengan format eksklusif dan peserta terbatas, maka esensi turnamen sebagai perekat antarklub dan pemanasan kompetisi pun akan hilang.

Sudah waktunya PSSI duduk, mengevaluasi ulang, dan memikirkan skema yang tidak hanya elok di atas kertas, tapi juga membawa manfaat riil untuk sepak bola nasional.

Jika format Piala Presiden terus menyusut dan tak kunjung inklusif, maka lebih baik sekalian diganti menjadi Piala Super Indonesia yang terstruktur dan prestisius.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup