Chelsea dan Fenomena ‘Kutukan Nomor 9’: Mengapa Rp1,24 Triliun Tak Cukup Beli Gol?

Bicara Chelsea di era pasca-Roman Abramovich dan di bawah kepemimpinan konsorsium Todd Boehly, ada satu hal yang tak bisa dielakkan: ambisi besar yang disertai gelontoran dana fantastis. Namun, di tengah gemuruh pembelian pemain bintang, satu posisi krusial justru terus menjadi sumber kegelisahan dan frustrasi: lini depan. Lebih spesifik lagi, posisi penyerang tengah.
Bukan rahasia lagi, Chelsea memiliki sejarah panjang dan kompleks dengan ‘kutukan’ nomor 9. Dari Fernando Torres, Radamel Falcao, Alvaro Morata, hingga Romelu Lukaku, banyak penyerang top dunia yang seolah kehilangan sentuhan magisnya begitu mengenakan seragam biru kebanggaan The Blues. Kini, di bawah rezim baru, fenomena ini tidak hanya berlanjut, tetapi justru semakin meresahkan dengan skala investasi yang sungguh tak masuk akal.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Chelsea dikabarkan telah merekrut setidaknya 18 pemain yang berposisi sebagai striker atau memiliki kemampuan mencetak gol di lini depan. Angka ini bukan sekadar deretan digit, melainkan representasi dari sebuah fenomena yang patut dianalisis mendalam. Total bujet yang dihabiskan untuk sektor ini mencapai angka mengejutkan: Rp1,24 triliun! Sebuah jumlah yang, ironisnya, belum juga mampu menghadirkan konsistensi dan ketajaman yang diidamkan.
Mari kita selami lebih dalam mengapa Chelsea, dengan segala daya finansialnya, masih kesulitan menemukan ujung tombak yang mampu memecah kebuntuan dan mengakhiri dahaga gol di Stamford Bridge.
Belanja Gila di Lini Depan: Angka-angka yang Bikin Terhenyak
Fakta Mencengangkan: 18 Striker, Rp1,24 Triliun dalam 3 Tahun
Angka 18 pemain dan Rp1,24 triliun adalah bukti nyata betapa paniknya Chelsea dalam mencari solusi untuk masalah gol mereka. Dalam sepak bola modern, di mana setiap transfer dianalisis dengan cermat, pendekatan ‘tembak banyak’ seperti ini sangat jarang terjadi di klub-klub top Eropa. Biasanya, klub akan mengidentifikasi satu atau dua target utama, kemudian berinvestasi besar pada mereka.
Namun, di Chelsea, kita melihat pola yang berbeda. Ada upaya berkelanjutan untuk mencoba berbagai profil penyerang, dari yang berpengalaman hingga talenta muda, dari pembelian permanen hingga peminjaman. Ini menunjukkan kurangnya visi jangka panjang yang jelas dalam strategi rekrutmen. Alih-alih membangun fondasi yang kokoh, Chelsea terlihat seperti sedang mencari jarum di tumpukan jerami, berharap salah satu dari pembelian tersebut akan menjadi jawaban instan.
Dana Rp1,24 triliun ini, jika dialokasikan dengan bijak, bisa digunakan untuk merekrut dua hingga tiga penyerang kelas dunia yang benar-benar cocok dengan sistem tim. Namun, kenyataannya, dana tersebut tersebar ke banyak nama, sebagian besar gagal memberikan dampak signifikan, bahkan ada yang hanya menjadi penghangat bangku cadangan atau justru dilepas kembali.
Siapa Saja Mereka? Daftar Panjang Pembelian Gagal dan Asa yang Pupus
Untuk memahami skala masalahnya, mari kita sebutkan beberapa nama yang pernah atau masih berada di radar Chelsea dalam tiga tahun terakhir dan menghabiskan sebagian dari bujet triliunan tersebut:

- Romelu Lukaku: Dibeli dengan harga fantastis (sekitar £97.5 juta atau sekitar Rp1,9 triliun pada saat itu, meski sebagian besar dari bujet Rp1,24 T di artikel ini merujuk ke periode setelahnya termasuk gaji dan biaya pinjaman), ia diharapkan menjadi solusi jangka panjang. Namun, setelah satu musim penuh kontroversi dan performa di bawah ekspektasi, ia kembali ke Inter Milan dan kemudian dipinjamkan ke AS Roma, menyisakan kerugian finansial dan kekecewaan.
- Pierre-Emerick Aubameyang: Didatangkan dari Barcelona di bawah Thomas Tuchel, Aubameyang diharapkan membawa pengalaman dan insting gol. Sayangnya, ia juga tak mampu memberikan dampak signifikan dan akhirnya dilepas ke Marseille.
- Timo Werner: Meskipun kecepatannya diakui, Werner seringkali kesulitan dalam penyelesaian akhir di Premier League. Ia akhirnya kembali ke RB Leipzig.
- Raheem Sterling: Meski bukan penyerang murni, Sterling didatangkan untuk menambah daya dobrak dan gol dari lini serang. Performanya inkonsisten dan belum memenuhi ekspektasi sebagai salah satu penyerang sayap termahal.
- Armando Broja: Produk akademi yang menjanjikan, namun sering dibekap cedera parah yang menghambat perkembangannya.
- David Datro Fofana: Striker muda potensial dari Norwegia, namun masih dalam tahap pengembangan dan sudah beberapa kali dipinjamkan.
- Nicolas Jackson: Dibeli dengan harapan tinggi di awal musim 2023/2024, performanya masih naik turun, menunjukkan bahwa ia membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Meski menunjukkan potensi, konsistensi masih jadi PR.
- Christopher Nkunku: Pembelian yang sangat dinanti, namun sayangnya cedera parah di pramusim membuatnya absen panjang. Ini adalah contoh bagaimana investasi besar bisa tertahan karena faktor non-teknis.
- Joao Pedro: Terbaru, meski belum terealisasi dan João Pedro akhirnya berlabuh ke Brighton & Hove Albion, namanya sempat dikaitkan erat, menambah panjang daftar ‘target’ atau ‘pemain incaran’ di posisi sentral ini. Ini menunjukkan betapa agresifnya Chelsea dalam memburu penyerang, bahkan jika itu berarti bersaing ketat untuk talenta yang diminati klub lain.
Daftar ini belum termasuk nama-nama lain yang pernah dipertimbangkan atau bahkan pemain akademi yang diuji coba di tim utama. Semua ini mengindikasikan sebuah pencarian yang tak berkesudahan.
Akar Masalah: Mengapa Investasi Tak Sebanding dengan Produksi Gol?
Strategi Transfer yang Inkonsisten dan Panik
Salah satu akar masalah terbesar adalah kurangnya koherensi dalam strategi transfer. Chelsea di bawah kepemimpinan Todd Boehly memang tak ragu menggelontorkan dana, namun pendekatan ini seringkali terlihat tanpa arah yang jelas. Di awal era baru, posisi direktur olahraga tidak langsung terisi, membuat Boehly sendiri terjun langsung dalam negosiasi. Ini mungkin berkontribusi pada keputusan-keputusan yang kurang strategis.
Pergantian manajer yang cepat juga memperparah situasi. Setiap manajer memiliki filosofi dan preferensi pemain yang berbeda. Ketika manajer berganti, pemain yang didatangkan oleh manajer sebelumnya mungkin tidak cocok dengan sistem yang baru. Ini menciptakan siklus di mana pemain baru terus didatangkan, tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk benar-benar menyatu dan berkembang dalam sebuah sistem yang stabil. Filosofi ‘beli dulu, cocokkan kemudian’ terlihat jelas di beberapa pembelian, yang terbukti tidak efektif.
Beban “Kutukan Nomor 9” dan Tekanan Ekspektasi
Fenomena ‘kutukan nomor 9’ di Chelsea bukanlah mitos belaka, melainkan beban psikologis yang nyata. Angka keramat ini seolah membawa beban tak kasat mata bagi siapa pun yang mengenakannya. Tekanan dari para penggemar, media, dan bahkan diri sendiri untuk memecahkan kutukan ini bisa sangat membebani. Penyerang yang didatangkan dengan harga mahal dan ekspektasi tinggi seringkali kesulitan memenuhi ekspektasi tersebut.